Posting oleh : Redaksi
Reportase Bengkulu.com – Suara rakyat kembali menggema di jantung Kota Bengkulu. Kamis pagi, 17 April 2025, ratusan massa yang tergabung dalam Lembaga Swadaya Masyarakat Pembela Kesatuan Tanah Air (LSM PEKAT), bersama organisasi APPI dan perwakilan warga Desa Tanjung Sari, Kabupaten Bengkulu Utara, melingkari halaman Kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bengkulu. Dengan semangat membara, mereka menuntut keadilan yang selama ini terasa absen dari tanah kelahiran mereka.
Aksi ini bukan sekadar unjuk rasa. Ini adalah perwujudan nyata dari akumulasi kekecewaan rakyat atas lambannya penanganan sejumlah kasus dugaan korupsi yang telah dilaporkan ke aparat penegak hukum, namun tak kunjung menemukan titik terang. Suara rakyat yang kerap diabaikan kini berubah menjadi genderang perjuangan.
Ishak Burmansyah, penanggung jawab aksi sekaligus suara lantang dari barisan rakyat, dalam orasinya mengungkap sederet persoalan hukum yang telah lama menjadi bola panas di masyarakat, namun justru terkesan dibiarkan oleh pihak Kejati. Ia menyampaikan bahwa Kejaksaan Tinggi Bengkulu seolah kehilangan keberaniannya dalam membongkar kasus-kasus besar yang menyangkut uang negara dan hak-hak rakyat.
“Kami datang hari ini membawa suara rakyat. Hukum harus berdiri di atas kebenaran, bukan tunduk pada kekuasaan atau kepentingan politik,” tegas Ishak, suaranya menggelegar di hadapan pagar penegak keadilan.
Dua kasus menjadi sorotan utama dalam aksi ini. Pertama, dugaan korupsi perjalanan dinas fiktif (SPPD) pada Sekretariat DPRD Bengkulu Utara tahun anggaran 2023. Kedua, dugaan penggelapan serta penyalahgunaan pengelolaan kebun kas desa seluas 13,8 hektar di Desa Tanjung Sari, Kecamatan Ulok Kupai. Kebun kelapa sawit yang seharusnya menjadi sumber kesejahteraan rakyat, justru menyisakan tanya dan kecurigaan mendalam.
“Kebun itu sudah menghasilkan sejak 2005, tapi sampai hari ini tak ada kejelasan mengenai manfaatnya bagi warga. Bahkan saat ditanya dalam aksi di kantor desa, Kepala Desa hanya berkata akan memberi penjelasan kepada pihak ‘Tipikor’, entah siapa yang dimaksud,” lanjut Ishak dengan nada penuh kegeraman.
Ia menegaskan bahwa ini adalah masalah hak. Kebun desa adalah milik bersama, bukan milik pribadi. Namun hingga hari ini, hasilnya bagaikan kabut pagi – ada tapi tak pernah bisa dirasa. Dugaan korupsi yang membayang semakin kuat seiring dengan diamnya pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab.
Susi Susanti, salah satu warga Desa Tanjung Sari yang turut berorasi, menyuarakan keresahan hati masyarakat atas tata kelola dana desa yang dinilai jauh dari prinsip transparansi dan akuntabilitas. Ia menyebut bahwa kerugian yang ditimbulkan dari carut-marut pengelolaan kas desa bisa mencapai angka fantastis: miliaran rupiah.
Aksi ini tak hanya menuntut, tetapi juga membawa sepuluh poin tuntutan resmi kepada Kejati Bengkulu. Sepuluh suara rakyat yang menggambarkan luka-luka akibat ketidakadilan dan pembiaran:
Mendesak pengusutan dugaan korupsi kebun kas desa Tanjung Sari yang telah merugikan masyarakat hingga miliaran rupiah.
Menindaklanjuti kasus SPPD fiktif Bengkulu Utara yang telah dilaporkan masyarakat.
Pengusutan penggunaan anggaran rumah tangga unsur pimpinan DPRD Bengkulu Utara.
Investigasi terhadap proyek jalan dan jembatan provinsi yang mangkrak di Rejang Lebong.
Audit menyeluruh terhadap proyek tambal sulam Jalan Nasional yang diduga dikerjakan asal-asalan.
Penjelasan publik yang transparan tentang kelanjutan kasus pengadaan lahan tol yang belum menetapkan tersangka.
Pengusutan dugaan korupsi penghentian proyek gelombang di Pantai Pasar Ipuh.
Pemeriksaan mutu dan spesifikasi proyek pembangunan flyover Danau Dendam Tak Sudah.
Penyelidikan dugaan pungutan pembohong (pungli) pada proses PPG di Kemenag Seluma.
Penelusuran dan pengungkapan berbagai kegiatan yang merugikan keuangan negara namun belum menyentuh hukum.
Meski hingga aksi berakhir belum ada respon konkret dari Kejati Bengkulu, massa menegaskan bahwa perjuangan mereka tidak akan berhenti di sini. Mereka akan terus mengawal proses hukum ini sampai keadilan benar-benar ditegakkan.
“Bilamana persoalan ini tidak juga diselesaikan secara serius oleh Kejati Bengkulu, maka kami pastikan akan membawa kasus ini ke Kejaksaan Agung, bahkan hingga ke Istana Presiden sekalipun. Aksi ini bukan sekadar unjuk rasa, ini adalah cermin dari harapan rakyat. Bahwa hukum dianggap menjadi alat keadilan, bukan alat kekuasaan,” tutup Ishak, menutup orasinya dengan pekikan semangat.